Pohon Natal Tua Mama

Pohon Natal Tua Mama

Jakarta

Natal selalu mengingatkan saya kepada mama. Yup, bukan perayaan Hari Ibu yang mengingatkan saya kepada mama, perempuan yang telah melahirkan saya di dunia, tapi justru Natal. Bukan, bukan berarti saya menafikan kenyataan bahwa beliau adalah seorang ibu yang erat kaitannya dengan perayaan Hari Ibu, tapi kesan dan ingatan akan mama dengan Natal lebih kuat jika dibandingkan dengan kesan dan ingatan akan perayaan Hari Ibu.

Mama seorang muslim. Beliau dibesarkan di sebuah keluarga muslim yang cukup taat, di bawah “komando” Mbah Kakung yang juga seorang tentara. Sebagai anak pertama di keluarga besarnya, mama mengemban tanggung jawab tak sedikit dalam hal membantu Mbah Putri mengurus adik-adiknya yang lain.

Itulah mengapa jika berbicara tentang Natal, saya akan selalu teringat dengan mama. Karena mama menikah dengan papa saya yang seorang Konghucu, kemudian convert menjadi seorang Katolik. Namun mama mempertahankan keyakinan beliau untuk tetap menjadi seorang muslim, bahkan anak-anaknya semua mengenal agama Islam terlebih dahulu, diajari salat dan mengaji terlebih dahulu sebelum akhirnya menemukan “jalan” masing-masing.

Sejak saya kecil, saat memasuki bulan Desember seperti sekarang ini, mama akan sibuk mengeluarkan simpanan pohon Natal plastik serta pernak-pernik hiasannya. Beliau akan memeriksa, membersihkan baik-baik pohon Natal plastik simpanannya untuk kemudian dipasang di salah satu sudut ruang di rumah. Entah di ruang tamu atau di ruang keluarga.

Kami, anak-anaknya tentu saja amat sangat senang saat pohon Natal tersebut dipasang. Bukan hanya karena kami diberi kesempatan untuk ikut menghias pohon Natal tersebut dengan pernak-perniknya saja, tapi pohon Natal plastik itu mampu memberikan warna tersendiri di rumah kami yang sederhana. Menambah kegembiraan dan kebahagiaan yang hidup di rumah kami.

Bahkan saat malam tiba, di hari-hari tertentu seperti hari Sabtu, terkadang papa berbaik hati dengan menyalakan lampu kelap-kelip di pohon Natal tersebut dengan accu, sementara lampu petromaks kami matikan. Membiarkan kami bergoleran di atas tikar di bawah pohon Natal tersebut, menikmati kelap-kelip lampunya di tengah malam yang gelap yang sunyi dalam diam, dengan berjuta angan di kepala masing-masing.

Ya, masa kecil saya sempat identik dengan lampu petromaks dan lampu teplok. Jadi yang namanya accu, apalagi generator listrik, pastilah bukan sesuatu yang murah, apalagi bagi keluarga sederhana kami.

Lalu, saat itu apakah kami paham apa itu Natal? Bolehkah kami merayakannya, sementara agama kami yang tertera di rapor adalah Islam, serta kami diajari untuk salat dan mengaji?

Tidak sama sekali.

Yang kami tahu bahwa bulan Desember berarti hari Natal, dan kami bakal bersukacita memasang pohon Natal plastik tua milik mama. Yang kami tahu, selayaknya Idulfitri dan Imlek, keluarga kami pun boleh ikut merayakan Natal meski tanpa kue-kue dan makanan enak, cukup dengan memasang pohon Natal plastik sebagai salah satu simbol perayaan Natal.

Suatu saat saya pernah bertanya kepada mama tentang “tradisi Natal” di keluarga kami ini, apakah boleh kami yang Islam ini ikut merayakan Natal dengan memasang pohon Natal dan menikmati keindahannya?

“Tuhan Yesus takkan sempat mengurusi boleh-tidakkah umat agama lain ikut bergembira menyambut Natal. Dan Allah lebih senang jika umatnya berbahagia dan bergembira timbang sibuk bersedih dan bersungut-sungut sepanjang hari.” Demikian kata mama.

Waktu itu saya meyakini betul apa yang diucapkan mama pastilah benar, karena guru agama saya selalu mengajarkan azab jika Allah tak berkenan akan perbuatan umatnya. Dan kami tak pernah mendapat azab sakit mata karena sibuk memandangi indahnya kelap-kelip dan pernak pernik pohon Natal yang kami pasang. Hanya perasaan riang, senang karena kami boleh ikut merayakan Natal meski hanya sebatas memasang pohon Natal saja.

Ada juga kawan bermain saya yang bertanya, apa gunanya memasang pohon Natal jika tak bisa mendapatkan hadiah dari Sinterklas? Sinterklas, Santa Klaus, lelaki tua gemuk berjenggot putih lebat dengan raut wajah menyenangkan dan berjubah merah yang membagi-bagikan hadiah Natal bagi anak-anak di seluruh dunia di malam Natal.
Waktu itu saya belum paham jika hadiah Natal bukan dikirimkan oleh Sinterklas, melainkan dibelikan oleh para orangtua tapi mereka berpura-pura bahwa hadiah tersebut dari Sinterklas.

Tapi saya ingat betul, saya mengatakan kepada teman saya bahwa kami ini muslim, yang Katolik hanyalah papa saya, dan Sinterklas mungkin masih mempertimbangkan, bolehkah anak-anak muslim dengan seorang ayah Katolik menerima hadiah Natal. Lagi pula mungkin Sinterklas agak kesulitan jika datang ke rumah kami untuk mengirim hadiah Natal. Bukan saja rumah kami lebih sering gelap gulita di malam hari, tapi juga kami tak memiliki cerobong asap sebagai pintu masuk Sinterklas.

Mama hanya mengajarkan bahwa Natal adalah kegembiraan dan kebahagiaan, sesuatu yang seharusnya ada di keseharian kami sebagai anak kecil, lainnya tidak.

Biasanya saat pagi Natal tiba, kami akan berdoa dengan sungguh-sungguh di meja makan pada saat sarapan. Kami berdoa bersungguh-sungguh, berterima kasih akan makanan yang bisa kami makan pagi itu, juga akan kesehatan, serta kekuatan dan harapan akan tahun baru yang akan datang dalam hitungan hari. Tapi jangan kira ada makanan yang berbeda yang terhidang di meja makan saat hari Natal tiba. Tidak ada. Biasa saja, tapi bagi kami semua makanan yang bisa tersaji di atas meja makan adalah makanan istimewa.

Desember, Natal, dan mama akan selalu menjadi ingatan yang melekat kuat dalam hidup saya. Karena dari situlah saya juga belajar untuk menjadi berbeda dalam keyakinan tanpa harus saling menghakimi apalagi melukai.

Dan mama jugalah yang membuat saya masih melakukan tradisi Natal, memasang pohon Natal di salah satu sudut ruang di rumah dengan anak-anak saya. Membiarkan mereka ikut merasakan kebahagiaan dan kegembiraan yang saya alami saat saya kecil. Meski mereka semua salat dan mengaji seperti ayah mereka, sementara saya berdoa Bapa Kami setiap pagi, rutinitas yang biasa saya lakukan sejak berusia 16 tahun.

(mmu/mmu)

https://news.detik.com/kolom/d-5868518/pohon-natal-tua-mama